Subjektifitas(ku sebagai) Mahasiswa
Semangat menurun di pekan akhir
perkuliahan merupakan hal yang lumrah. Bukan hanya pelajar, para pelaku
kegiatan monoton pasti merasakannya. Minggu persiapkan amunisi untuk sepekan
kedepan, seiring waktu memudar, kamis-jumat cenderung berat, sabtu mereda, minggu
lepas>persiapkan amunisi. Seterusnya! Kiranya demikianlah
Jum’at, 5-5-17
Bagi saya, hari ini memiliki
‘note’ tersendiri, walaupun mengganggu, namun –jujur, hingga saya menulis ini
tak kunjung terlupakan.
Di hari itu saya memiliki 4 SKS
dalam 2 Mata Kuliah yang harus saya hadiri. Secara administratif, agar saya
dapat memenuhi syarat mengikuti UAS, secara sadar, karena saya butuh ilmu –pencitraan.
Dua dosen yang secara ‘ijazah’
bukan bidangnya. Namun, analisis saya, seorang yang disebut dosen, haruslah
menguasainya. Dan jujur bagi saya, dosen yang satu terlalu teoritis, semua
berdasarkan referensi, ppt, tulisan, makalah, artikel yang ia baca, tanpa bisa
mentransfer ‘ilmu’ secara praktek (mata kuliah Kewarganegaraan). Sedangkan yang satu
terlalu menguasai, dan saya pusing dibuatnya (mata kuliah Statistik).
Tepat pukul 07.00 kuliah pertama
dimulai. Sesuai yang lalu-lalu, bu dosen –yang katanya ‘jamnya orang
Indonesia’, telat. Entah beberapa menit, membuat kami secara otomatis,
menyesuaikan diri dengannya. Jadwal saya pribadi, fleksibel untuknya(red: bu
dos), toleransi keterlambatan 15 menit –terhitung sejak kelas dimulai, akan
saya manfaatkan sebaik mungkin. [estimasi dengan kehadirannya yang juga telat,
misal 5-10 menit, toleransi berakhir pukul 07.20-07.30]. Berdasarkan jam
ponsel, saya masuk pukul 07.21. Melirik ke deretan kursi yang masih banyak yang
sepi membuat saya lega “huft, banyak yang seperjuangan” –sejenak!. Ketika
menoleh ke depan kelas “omeGod!” mereka yang ‘seperjuangan’ tadi telah berjuang
lebih awal dariku. Ya, mereka berdiri di depan kelas (red: dihukum).
“Ini lagi nih, kenapa terlambat?”
tanyanya kepada yang baru saja datang, saya!. Saya menjawab insiden yang
sebenarnya kepadanya bahwa saya kehilangan kartu tanda mahasiswa (KTM) saya,
padahal itu akan saya gunakan setelah kuliah selesai. Ia terkesan tidak
menerima penjelasan padahal tadi nanya, kan aneh! dan memotong ucapan
saya dengan nada yang menanjak “ngapain? Ngurusin suami? Ngurusin anak?!”
kelas agak gaduh dengan tawa
sinis dari [beberapa] mereka yang duduk, “orang belum nikah kok ngurusin suami,
apalagi anak” tambahnya. Ingin sekali kujawab “NGURUSIN ANAK ORANG”
namun ia terkesan tidak memberi
ruang bincang untuk siapapun dan terus ‘ngerocos’, “karena ada beberapa
mahasiwa/i yang sudah berkeluarga dan saya maklumi itu, tugas seorang istri&/suami
itu wajib mengurus rumah, tanggungan ke suami/istri, anak kalau sudah ada,
nganter sekolah, apalagi kalau tidak ada pembantu......”bla bla bla
“karena saya merasakan....” mulai curhat -_-. Namun karena teman-teman
yang telah berjuang lama, ia membolehkan kami duduk dengan terus menerus
mencurahkan isi hatinya sebagai istri dan ibu :p -_-
Ketika baru membuka slide
pertama, masuklah dua mahasiswa yang telat. Sama, ia menginterogasi dengan
“ngurus anak? Ngurus istri?...” dan pengulangan-pengulangan yang sudah hambar
dan tak lucu lagi. Intinya, perkuliahan waktu itu lebih banyak siraman rohani
daripada penyampaian materi.
Dari khotbah yang disampaikan,
kebanyakan mengena di hati saya. Bukan karena isi atau substansi khotbah yang
sesuai dengan keadaan kelas kami (suka nelat pas makul ibu ini), namun realita
sang pembicara yang sebenarnya ‘demikianlah nasehat untuk Anda [juga]’ seperti,
“saya melakukan ini untuk menertibkan kalian. Masih semester awal, sudah
malas-malasan, tidak disiplin,..” Pada kenyataannya, si ibu kan suka telat
juga, selalu malahan. Apa itu bukan sebuah pelanggaran kedisiplinan? Apalagi
ibunya ‘abdi negara’, abdi negara telat. Dan memang, sempat ada solusi dengan
mengundur jam masuk menjadi 07.15. Entah kenapa itu tidak diberlakukan lagi,
dan salah satu hal yang membuat beberapa dari kita yang telat, juga karena
anggapan masuk kuliah jam 07.15
Kalian paham dong, ibu ini
bukan hanya abdi negara, tapi juga abdi suami, abdi anak (ew) !
Bagi saya bukan masalah ‘siapa’,
posisi apaaapun! Bukan itu.. masalahnya disini adalah ‘apa’ yang dilakukan oleh
si ibu kepada mahasiswanya, harusnya dipraktekkan dulu ke dirinya. Tanpa
disuruh, namanya juga mahasiswa, udah gede, paham, “dosennya on time, masa
aku telat” minimal pikiran-pikiran seperti itu pastilah terbesit. Lha ini?
Sama-sama telat juga -,-”
Puncak kekecewaan terjadi saat
kami, para pejuang waktu tadi, tidak diberi akses mengisi kehadiran. Jadi
selama itu tadi (didiriin, dikhotbain) tetap dianggap tidak masuk. Emang
apa masalahnya? Yang penting kan ilmunya -_- masalahnya secara
administratif kami dirugikan! Nilai kehadiran menentukan sepersekian persen
dari kelulusan kami. Dan kami telah berusaha, walaupun masih kalah dengan
mereka yang tidak telat, setidaknya kami lebih daripada mereka yang tidak
menghadiri kuliah sama sekali. Dan disini, kami tidak mendapatkan harga akan
apa yang telah kami perjuangkan.
Lalu?
Karena mahasiswa bukan lagi
pelajar sekolah(siswa) yang dulu hanya mendapatkan nilai. Kini kami
(red:mahasiswa) berkesempatan –dan memang seharusnya bertindak sebagai penilai
orang-orang yang memberikan kami nilai(red:dosen). Hal serupa akan saya lakukan.
Dendam? Sebutlah demikian, bisa saja iya bisa tidak, tergantung
kacamata. Di akhir perkuliahan kami akan memperoleh kuisioner yang harus diisi
secara online, berkaitan dengan lingkungan kampus dan –pastinya kegiatan
perkuliahan selama satu semester. Bukan kesalahan, menurut saya, melakukan
penilaian buruk terhadap si ibu. Toh, semua penilaian, pada kenyataanya susah
mencari objektifitasnya, kan?
Bagaimana pendapat Anda? Dapat dibenarkan/tidak subjektifitas ini?
A/e
Aqiella, maaf aku mau tanya, kamu orang mana ?. Suwun
ReplyDeleteAsalnya? Jawa timur
Delete