At Thoh Iriyah

Semua berawal ketika aku angkat tangan, tidak sanggup lagi hidup di salah satu pondok pesantren salafi yang ada di dekat sekolah dulu.
Sebab belum mendapat kepercayaan untuk tinggal di kos, akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus mencari tempat serupa (dengan catatan prinsip dariku: Aku di sana Sekolah sambil Mondok. Bukan sebaliknya).
Akhirnya dengan beragam pertimbangan, jatuhlah pilihan kami (aku, temanku, juga keluarga) ke pondok yang paling baru di antara yang lain, At-Thohiriyah. Pondok pesantren yang sebenarnya ditujukan untuk para penghafal Al-Qur'an ini berdiri di sebelah timur rumah pribadi Abah (panggilan untuk Kyai sekaligus pendiri).
Saat aku datang, gedung pondok itu tampak belum sepenuhnya jadi. Gedung yang memanjang ke selatan dengan pintu depan masih terbuat dari bambu itu baru memiliki 5 ruangan dengan beragam ukuran. Yang paling utara, sekitar 5x6m untuk kamar santri putra. Sebelahnya, ruang dengan fasilitas terbanyak(bed, tv, kipas, dsb), ruang paling sakral, kita biasa menyebutnya ndalem atau kediaman Ibuk&Abah Kyai.
Ruangan di tengah, ruang dengan ukuran paling kecil, sebab di salah satu sisi dipasang sekat semi permanen yang juga dimaksudkan agar dapat langsung terhubung dengan ndalem. Ruang tengah ini diperuntukkan para hafidzah (penghafal Al-Qur'an wanita). Dan ruangan yang terlihat paling luas sebab tanpa sekat, mungkin 8x8m, adalah kamar para siswi (SMP maupun SMA) dengan jejeran lemari pakaian dan buku di salah satu sisinya.
Di ujung selatan adalah ruang kamar yang sementara difungsikan sebagai dapur yang berbatasan dengan jalan kecil, yang selalu tertutup pintunya, yakni jemuran pakaian putri. Terpisah dengan gedung utama, tiga kamar mandi putri dibangun menghadap utara bersandingan dengan jemuran terbuka.
***
Aku mendaftar ke pondok itu dengan satu teman yang juga tidak betah berada di pondok salafi tadi. Kami masuk ke sana setelah libur lebaran idul fitri. Tak disangka kami akan mendapat sambutan yang begitu ramah, utamanya dari bu Nyai nya. Beliau lebih suka dipanggil "ibuk". Menyenangkan. Panggilan itu juga membuat kami bisa lebih dekat dengan beliau ternyata.
Tidak butuh banyak waktu untukku beradaptasi di sini. Selain karena jadwalnya yang lebih longgar dan dukungan teman-teman santri lama, Ibuk juga menjadi faktor utama dari kenyamanan yang aku rasakan di sana. Ibuk dan Abah sama-sama hafidz Qur'an dan pondok itu memang didedikasikan mencetak generasi penghafal. Namun tidak ada kewajiban bagi kami, para santri, untuk mengikuti program tersebut. Yang penting kami memahami agama dengan lebih baik dan memenuhi harapan orangtua kami di rumah, belajar dengan giat.
Di usia yang bisa dibilang tidak muda lagi, beliau berdua belum mendapat amanah keturunan. Mungkin sebab itu pulalah yang menjadikan Ibuk merindu sosok anak, sehingga kami, para santri, beliau anggap anak-anaknya. Beliau hafal betul apa-apa yang disukai anak-anaknya. Terutama makanan favorit.. kehidupan pondok memang serba prihatin, kan. Hampir semua orang memahami betul hal tersebut.
Malam jum'at atau saat ada warga yang mengadakan hajatan, menjadi ajang 'perbaikan gizi' kami. Sebab pasti akan banyak lebihan makanan (yang sudah di-doa-in) yang dibawa ke pondok. Tak jarang empunya hajat juga mengirimkan makanan lebih mewah untuk ndalem, sedangkan yang diberikan ke santri, ya, yang sama dengan yang diberikan ke tetangga-tetangganya. Tapi tetap menurut kami itu sudah menggembirakan.
Apabila makanan untuk ndalem itu kira-kira ada yang anaknya sukai, Ibuk pasti melipir ke kamar kami untuk memberikannya. "Dhina, mana Dhina? Ini kucur kesukaannya" satu masa, saat awal-awal aku di sana, Ibuk mencari mbak Dhina, salah satu senior yang sudah mondok sejak kelas sepuluh. Juga memberitahuku ketika menu makanan malam ini saus kacang (pecel) dengan sayur terong. Mondok di At-Thoh juga merupakan awal aku tidak lagi pilih-pilih makanan. Bahkan sayur terong dan pecel menjadi favoritku, padahal sebelumnya aku anti sekali dengan Solanum melongena itu. Juga ketika Arga, santri putra sakit, dan ia hanya bisa makan obat menggunakan pisang, Ibuk selalu menyediakan buah kuning tersebut di dapur. Bukan untuk Arga saja. "Biar kalian sehat-sehat" ucap beliau ketika ditanya kenapa pekan ini pisang tidak pernah absen di meja dapur.
Oya, pribadi Abah dan Ibuk cukup berbeda. Ibuk yang begitu dekat dengan santrinya, baik putra maupun putri, berbanding terbalik dengan Abah yang irit bicara kepada kami. Interaksi dengan beliau juga lebih banyak di forum mengaji, baik kitab maupun membaca Al-Qur'an.
***
Ibuk selalu tampak bugar mesti ternyata memiliki riwayat penyakit darah tinggi. Pribadi yang penuh energi positif dan penyabar tersebut tidak pernah -seingatku, sakit hingga harus berbaring lama. Paling hanya satu malam dan setelah kami bergantian memijat beliau, "langsung sembuh, kalianlah obatnya Ibuk" dengan bahasa Jawa dan tubuh yang lemas Ibuk mengatakannya. Dan Alhamdulilllah, besoknya beliau tampil ceria lagi.
Namun kala itu berbeda. Pijatan kami tidak begitu membantu. Bahkan Ibuk harus rawat inap di Rumah Sakit untuk beberapa waktu. Tapi beliau sering menyangkal, kalau beliau sehat-sehat saja, berada di sana merupakan ikhtiar sekaligus membuktikan jika beliau tidak kenapa-kenapa. Kami bergantian ke RS untuk menjenguk Ibuk, seperti biasa, bahkan beliau lebih mengkhawatirkan keadaan kami "Nita, kamu kok terlihat lebih kurus" dan sebagainya
Kenangan Ibuk


Comments

Popular posts from this blog

Hidup di Jogjaaaaaakankah Istimewa?

Aku Masih Gadis Yang Sama, Hanya Saja..

Awal dari Setiap Awal, Teman dari Semua Teman