Kota Pelajar, Kota Budaya, Bumi Sultan, dan semua sebutannya memang menandakan Jogja itu Istimewa. Aku berkesempatan menginjakkan kaki dan menetap di kota dengan tingkat harapan hidup yang tinggi ini (meski UMRnya terendah se-Indonesia). Yah, ini tandanya hidup nggak melulu tentang uang, kan? Paradoksnya, aku senang karena tidak perlu berpikir keras untuk urusan perut dan akomodasi karena aku tinggal dengan adik dari ibuku, tante/bibi (baca : numpang hidup). Tapi sedih juga karena gak bisa menjadi 'anak kuliahan sejati' yang harus mandiri dan mengatur sendiri seluruh kehidupannya di tanah rantau. Apalagi, kalau 'ikut orang' itu pasti adaa aja yang gak cocok sama hati dan terkadang kesiksa. Aku ngerasain itu? Tentuuu... Jadwal kuliah di hari Senin-Kamis diusahain jangan sampai lewat Ashar. Soalnya jam 4 sore harus ikut ngajar ngaji (bibi direktur TPA yang lumayan gede, santrinya 150an, butuh banyak tenaga pengajar dan administrasi) Yang paling syedih itu,
Sejauh yang aku sadar, aku masih gadis ceria, ramah (sksd), dan 'berisik'. Gadis yang sama seperti orang-orang dan teman-temanku kenal. Mungkin untuk teman kelas di SMP, aku yang sekarang cenderung lebih 'aktif'. Tapi sebenarnya jika kau mengenalku seperti anak-anak Asrama, ya beginilah aku. Insyaallah sama Bahkan ketika terluka, aku senantiasa tak bisa menahan mulutku untuk mencurahkannya. Kepada siapapun, tak peduli berapa orang, asal setelahnya aku lega. Mungkin itu juga yang menyebabkan kini daya tulisku agak tumpul. Tapi seiring bertambahnya usia, Tuhan mulai membiasakan ujian-ujian yang berbobot. Aku yakin ini semua untuk menempaku menjadi lebih kuat di masa depan. Aku sepenuhnya yakin. Sayangnya responku agak lambat. Terlebih untuk bobot ujian yang diberikanNya tahun 2017 silam. Aku masih terpuruk karenanya. Kabar baiknya, aku masih gadis yang sama, bagi orang lain dan keluarga. Meskipun agak aneh rasanya. Mengapa semakin tua usiaku, semakin mudah air mata
29 Januari Happy Milad Astina Suhesti, My best one, best of the best. Mbhesti, begitulah aku memanggilnya. My best friend ever. Setidaknya itu menurutku. Karena sekarang sulit memastikannya satu sama lain. Mbak Hesti, panggilan yang menurutku terlalu panjang. Sehingga Mbhesti menjadi solusinya. Aku tak ingat sejak kapan dan bagaimana kita bertemu dan menjadi akrab seperti ini. Kita -atau lebih tepatnya aku- masih sangat kecil sehingga tak bisa lagi mengingat awal dari ikatan kita. Kau dua belas bulan dua pekan lebih tua dariku. Kita punya bintang yang sama, Aquarius. Mungkin dari sini juga kita tersugesti. Yang jelas, kita semakin dekat karena memiliki kesamaan-kesamaan lain dan kecocokan yang saling mengisi. Kau anak berprestasi di kelas. Bahkan untuk pengambilan raport pertama kali, kaulah sang juara kelas. Aku sangat kagum padamu. Hesti di peringkat 1, lantas Ayu ke 2, dan aku cukup puas dengan urutan 3 ku. Namun Bapakku ternyata tidak sebahagia aku. Entah kenapa. Yang
Comments
Post a Comment